Ilmu yang Bermanfaat – Artefak #2 Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion


 

Ilmu untuk Kehidupan dan Penghidupan

Andi Hakim Nasoetion

[email protected]

[email protected]

Pada suatu ketika beberapa tahun yang lalu ada makalah di koran yang membahas efek rumah kaca. Namun dari jalan cerita di dalam tulisan itu dapat disimpulkan bahwa penulisnya mempunyai pengertian yang lain tentang rumah kaca. Yang dimaksudkan olehnya bukan apa yang disebut dalam ilmu lingkungan sebagai ‘greenhouse effect’ melainkan pengaruh pemanasan lingkungan dikotaJakarta yang menurutnya sudah terjadi karena sudah banyak betul gedung pencakar langitnya yang secara menyeluruh berdinding kaca.

Kalau sampai-sampai artikel seperti itu sudah lolos dari tangan redaksi, bukan saja penulisnya melainkan redaksi koran itu juga sudah sipi menafsirkan apa itu yang disebut efek rumah kaca. Jika demikian sempitnya pengetahuan bangsa kita, tidak mustahil akan ada tokoh bangsa kita yang tidak dapat membedakan antara internet dan eternit atau bertanya-tanya mengapa hanya penyanyi Solo saja tetapi tidak pernah ada penyanyi Yogya yang disebut-sebut oleh kritikus seni suara.

Mengikuti pandangan al-Ghazali, ada ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap manusia. Akan tetapi ada juga ilmu yang hanya wajib dipelajari oleh masyarakat, tetapi tidak oleh setiap orang. Ilmu jenis pertama oleh Ibn Khaldun disebut ilmu naqliah, karena diturunkan sebagai wahyu oleh Sang Maha Pencipta kepada manusia. Oleh karena itulah menurut al-Ghazali setiap manusia perlu menguasai ilmu syari`ah agar sepanjang hayatnya ia telah dibekali pengetahuan untuk selalu meniti jalan yang benar. Itulah ilmu yang diperlukan untuk kehidupan. Tingkat keperluan ini menggunakan istilah ilmu agama dinamakan fardu `ain. Ilmu jenis kedua ialah yang dinamakan Ibn Khaldun ilmu aqliah. Ilmu ini diajarkan Allah Yang Maha Kuasa kepada manusia melalui akal manusia (QS al-Alaq 96:5), sebagai bekal agar dapat mengelola bumi sebaik-baiknya selaku pewarisnya (QS 2:30-31).

Namun ilmu aqliah ternyata ada sebagian yang juga harus dipahami setiap manusia agar ia benar-benar dapat ikut mengelola bumi ini sebagai pewaris-Nya yang baik. Oleh karena itu sesungguhnya dari ilmu-ilmu dasar seperti matematika, sains alam, dan sains sosial, sebagian ada yang wajib diketahui oleh setiap manusia sampai taraf penguasaan tertentu. Bagian ilmu-ilmu dasar ini yang wajib diketahui oleh setiap orang dengan demikian adalah ilmu untuk kehidupan. Di atas tingkat penguasaan ini ilmu itu sudah menjadi ilmu untuk penghidupan dan hanya perlu dikuasai oleh sebagian anggota masyarakat. Dalam ilmu agama tingkat kewajiban ini disebut fardu kifayah.

Sejalan dengan pemikiran ini dapat pula dikatakan bahwa ilmu syari`ah sebagai ilmu naqliah perlu dikuasai pemahamannya oleh setiap orang sampai tingkatan tertentu. Sebagai kriterium untuk ‘tingkat tertentu’ ini dapat digunakan semua pengetahuan syari`ah yang membuat setiap orang menghormati kejujuran dan tahu mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang batil. Dengan demikian ia akan selalu berusaha untuk tidak membaurkannya dan selalu pula tidak menyembunyikan kebenaran itu kalau ia mengetahuinya (QS 5:48, 8:58, 2:42). Inilah komponen ilmu naqliah yang diperlukan untuk kehidupan, sedangkan tingkat penguasaan setiap orang yang merasa terpanggil untuk menjadi agamawan tidak ada batasnya karena ia memerlukan ilmu itu untuk penghidupannya. Bahwa tingkat penguasaan pengetahuan yang diperlukan itu tidak ada batasnya berlaku bagi semua ilmu yang ingin dikuasai sebagai ilmu untuk penghidupan.

Makalah ini akan mencoba membahas apa yang perlu dikuasai  orang mengenai matematika, fisika, kimia dan biologi sebagai ilmu untuk kehidupan dan sebagai kumpulan pengetahuan untuk mampu menguasai suatu ilmu sebagai ilmu untuk penghidupan.

 

Ilmu Aqliah untuk Kehidupan

Seorang anak makan kerupuk udang yang baru saja digoreng. Ketika dilekatkannya ke bibirnya, kerupuk itu melekat. Keesokan harinya masih ada tersisa sebuah kerupuk di atas piring.  Kerupuk itu dimakannya lagi. Anehnya kerupuk itu tidak lagi melekat di bibirnya. Ia bertanya-tanya mengapa kedua hal yang bertentangan itu terjadi. Demikian pula bapaknya secara tidak sengaja menjatuhkan abu rokok di atas alas meja. Ibunya menjilat telunjuk dan menempelkan telunjuk basah itu ke abu rokok itu. Abu rokok itu melekat secara utuh di ujung jari ibunya. Keesokan harinya tampak oleh anak itu ada lagi abu rokok di atas meja. Ia mencoba meniru apa yang dilakukan ibunya.  Hasilnya abu rokok itu hancur tercerai-berai. Kalau anak itu sudah mendapatkan pelajaran fisika tentang kapilaritas dan higroskopi ia seharusnya dapat menerangkan persamaan dan perbedaan antara dua macam gejala mengenai kerupuk dan dua gejala mengenai abu rokok. Ia juga seharusnya dapat menjelaskan bahwa peristiwa mengenai kerupuk dan mengenai abu rokok itu dapat dijelaskan menggunakan konsep fisika yang sama.

Namun jarang sekali murid SLTP dan bahkan SMU yang dapat menjelaskan gejala ini menggunakan pengetahuan fisika, walaupun mereka sudah mempelajari sifat-sifat kapilar dan higroskopisitas. Bahkan gurunya sendiri pun jika ditanya oleh anak itu mungkin sekali akan terkejut dan tidak dapat menjawab pertanyaan muridnya itu. Besar kemungkinannya ia akan marah dan itulah salah satu sebab bahwa murid di Indonesia tidak mau bertanya karena tidak berani. Maka tidaklah mengherankan kalau remaja Indonesia kehilangan kreativitas.

Hal ini mengingatkan saya akan beberapa kasus anak-anak rekan sejawat saya yang baru pulang dari luar negeri karena mengikuti orangtuanya yang selesai melaksanakan tugas belajar. Dua orang anak saya ketahui pernah kembali ke rumah sambil menangis dan minta pulang lagi ke ‘tempat asal’ mereka. Alasan yang diungkapkan kedua anak itu berbentuk pernyataan: ‘What a lousy school! You can’t even ask a question.’ Seorang anak lain di SMP mendapat nilai 2 untuk pelajaran bahasa daerah yang cara mengajarkannya seakan-akan ditujukan kepada murid yang bahasa tuturannya di rumah adalah bahasa daerah.

Padahal seharusnya bahasa daerah itu diajarkan sebagai bahasa kedua karena hampir semua murid di dalam kelas tidak lagi bertutur dalam bahasa daerah itu. Akibatnya orangtua anak itu memutuskan untuk pindah kerja diJakartayang tidak mewajibkan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Maka kembalilah ia menjadi juara kelas lagi seperti lazimnya di sekolahnya di luar negeri.  Anak lain lagi pulang ke rumah menanyakan kepada ibunya yang berasal dari Cianjur apa bahasa Sundanya ‘anak buaya’. Si ibu tidak tahu. Tanyakan saja kepada ayah, katanya karena sang ayah dibesarkan di Cirebon, jadi dekat laut. Sang ayah juga tidak tahu, lalu bertanya kepada saya.  Celakanya saya hanya mempunyai kamus bahasa Sunda yang menjelaskan arti kata. Maka kata itu tetap menjadi pertanyaan bagi saya sejak tahun 1973 sampai pada tahun 1988 saya harus bertugas di Universitas Goettingen. Disanasaya berjumpa dengan seorang pengajar lain yang dari intonasi bahasanya saya yakini berasal dari Sumedang. Betul saja ia benar-benar orang Sumedang. Walaupun Sumedang letaknya jauh dari laut, ia ternyata tahu bahwa dalam bahasa Sunda anak buaya dinamakan ‘bocokok’. Kalau digunakan sebagai kata kias artinya ialah manusia yang buruk-laku. Kata ‘bocokok’ sebagai manusia buruk laku sudah lama saya ketahui, tetapi untuk mengetahui bahwa bocokok itu adalah anak buaya saya harus bertugas dahulu kekotatempat di masa lalu bekerja ilmuwan terkenal Carl Friedrich Gauss dan kedua  pendongeng besar bersaudara Grimm.

Beberapa waktu yang lalu dalam bulan Maret 2000 Dewan Redaksi majalah Transformasi memutuskan untuk mengundang dua orang pakar bahasa, seorang dari ranah Pasundan dan seorang lagi dari ranah Minang mengemukakan pandangan mereka masing-masing tentang bahasa daerah dalam penerbitan perdana majalah itu. Untuk meyakinkan anggota dewan tentang perlunya kita mengkaji-ulang cara mengajarkan bahasa daerah itu dan menentukan di mana letak peranan bahasa daerah dalam pengembangan bangsa, saya ceritakan kembali pengalaman saya itu kepada sidang.

Ketua sidang yang berasal dari ranah Pasundan menukas bahwa kalau tidak mendengar cerita itu ia tidak tahu bahwa anak buaya itu bahasa Sundanya adalah ‘bocokok’. Ketaktahuannya ini sepanjang hidupnya sampai saat itu selama lebih dari 65 tahun, tidak mengalanginya untuk mempunyai gelar Ph.D. dan menyandang status akademik gurubesar golongan IV/e di salah satu perguruan tinggi yang di Indonesia sekurang-kurangnya patut diperhitungkan. Jadi apa yang menimbulkan trauma pada anak SD karena mendapat nilai buruk untuk bahasa daerah karena tidak tahu anak buaya itu bahasa Sundanya bocokok ternyata bukan masalah yang menghambat bagi orang yang berhasil meraih kedudukan gurubesar.

 

Ajarkan Ilmu untuk Kehidupan Sebagai Pembuka Akal

Kejadian berikut terjadi di ibukota suatu kabupaten di Jawa Barat.  Seorang rekan sekeahlian saya mengundang wakil-wakil murid SD, SLTP, dan SMU dari semua kecamatan di kabupaten itu untuk mendengar ceramah tentang sains dan matematika di ibukota kabupaten itu. Juga diundang para guru pendamping serta tokoh-tokoh penyelenggara bimbingan test. Setelah rangkaian ceramah usai, kepada para siswa itu disediakan waktu untuk bertanya tentang apa saja dalam sains dan matematika.

Seorang murid SD dari suatu desa di tepi Samudera Hindia mengajukan pertanyaan sebagai berikut: ’Kalau saya seorang astronot dan membawa kipas ke ruang angkasa. Kemudian di ruang angkasa itu saya keluar dan mengipas-ngipaskan kipas itu, apakah akan terjadi angin?’ Pertanyaan itu disusul oleh pertanyaan lain. Kali ini oleh seorang murid SLTP. Pertanyaannya ialah: ‘Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya menuju ke atas. Akan tetapi kalau lilin itu saya balikkan sumbunya ke bawah, mengapa nyalanya tidak mengarah ke bawah melainkan ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu lebih cepat?’

Sebagai moderator, rekan saya itu mempersilakan guru sains dan penyelenggara bimbingan test yang hadir untuk menjawab kedua pertanyaan itu. Hanya sunyi senyap yang terjadi yang kemudian diikuti gelak para murid, siswa, dan pelajar. Tidak seorang pun dari para guru itu yang sanggup menjawab. Itulah sebabnya agaknya mengapa murid tidak dirangsang guru agar bertanya dan bertanya-tanya. Guru tidak siap menjawab pertanyaan muridnya. Pepatah Melayu ‘Malu bertanya, sesat di jalan’ yang merupakan kearifan nenek moyang kita sudah tidak berlaku lagi di Indonesia.  Demikian pula para pelatih bimbingan test tidak dapat menjawab karena tidak biasa menjawab pertanyaan. Yang sehari-hari dilakukannya adalah menunjukkan kiat memilih jawaban pertanyaan yang tepat dari empat jawaban yang tersedia.

Dengan cara itu perguruan tinggi telah banyak sekali menjaring mahasiswa yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi mahasiswa. Tentu saja kalau yang dimaksud dengan mahasiswa ialah calon ilmuwan atau teknologiwan yang mampu menggunakan akal dan nalarnya. Kalau yang dimaksud dengan mahasiswa ialah mereka yang akan berhasil mendapat ijazah sarjana, memang bimbingan test itu sangat bermanfaat, asal saja perguruan tinggi itu hanya merupakan suatu kilang ijazah atau ‘diploma mill’.

Seharusnya kalau pun para guru itu kaget mendengar pertanyaan itu, mereka harus dapat keluar dari kesulitan dengan melacak kembali pengertian ‘angin’, yaitu suatu gerakan massa udara dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah. Dalam hal pengipasan perbedaan tekanan muncul karena kipas itu digerak-gerakkan oleh otot tangan. Namun kalau udaranya tidak ada apa yang mau digerakkan. Masalah nyala lilin juga dapat dijelaskan dengan cara yang sama karena udara yang panas lebih ringan daripada udara yang dingin. Karena itu udara di sekitar nyala lilin menjadi lebih ringan dan bergerak ke atas lapisan udara yang lebih berat. Jika lilin dibalikkan tetap saja udara yang lebih ringan itu akan menjauhi bumi bergerak ke atas.

Keterangan tentang pengetahuan dasar yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan sehari-hari atau tidak sehari-hari itu sesungguhnya dapat dirujuk kembali dari kamus, buku-ajar, atau ensiklopedi. Pengajaran sains dan matematika kepada seorang murid pendidikan dasar dan menengah maupun mahasiswa sesungguhnya harus bertolak dari latihan pemahaman dan penguasaan fakta dasar mengenai ilmu yang kemudian berkembang ke tahapan penerapan, analisis, dan sintesis seperti yang selalu disuruh hafalkan dalam setiap kuliah teori pengajaran tetapi jarang diterapkan. Mungkin juga ketiadaan buku-ajar yang dapat diandalkan membantu munculnya kesulitan mengajarkan sains sebagai ilmu pembuka akal untuk membaca ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta ini seperti diisyaratkan dalam QS 96:1-5.

Namun mungkin pula cara anak-anak kita diajari membaca ialah dengan menyuruh mereka menghafal isi buku. Seperti murid sekolah lanjutan disuruh menghafalkan ringkasan isi buku Layar Terkembangnya STA dan mengucapkannya kembali di dalam kelas. Sangat kurang diadakan pelatihan kepada murid agar dapat mencari keterangan dari buku, majalah, atau surat kabar sebagai sumber rujukan dan menyimpulkan suatu pendapat yang tidak perlu sama dengan apa yang dikemukakan oleh buku, majalah, atau surat kabar. Latihan membaca kritis seperti ini akan membuat murid dapat meramu sendiri pengetahuan baru dari kumpulan pengetahuan yang sudah ada. Itulah yang diperlukan setiap orang dalam kehidupan, membaca ayat-ayat Allah yang tersebar dan tersembunyi di alam sekitarnya dan menemukan manfaat dari kumpulan pengetahuan yang diperolehnya dengan cara itu.

 

Melek-huruf Harus Didampingi Melek-angka

Sampai sekarang pun ada anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) yang mempertanyakan apakah di SD itu perlu diajarkan matematika dan apakah tidak cukup diajarkan berhitung saja seperti dilakukan zaman dahulu kala dan sekarang kembali lagi diikuti misalnya di Amerika Serikat.  Untuk kita ketahui bersama sekarang ini di Amerika Serikat digalakkan pelaksanaan ‘Quantitative Literacy Project’ (QLP). Namun itu tidak identik dengan berhitung zaman Bouwman dan van Zelm. Yang dimaksud QLP yang merupakan proyek bersama Mathematics Association of America dan American Statistical Association itu ialah upaya menanamkan kemampuan menafsirkan angka-angka yang dipublikasikan dalam sarana informasi umum pada murid SD, SLTP, dan SMU. Hal itu memang memerlukan kemampuan berhitung namun di samping itu memerlukan kemampuan bernalar yang diajarkan melalui logika, matematika diskret, dan analisis data.

Hanya mampu menghafal dengan cepat seperti sekarang diiklankan berbagai kursus kilat dengan biaya yang cukup tinggi tidak akan banyak manfaatnya, kecuali kalau kita ingin bahwa anak-anak kita menjadi robot. Mematok pelajaran matematika hanya terbatas pada berhitung gaya lama hanya membuat anak muda kita dilatih untuk tidak mengenali dan menguasai kemampuan bernalar.  Namun ini adalah suatu keuntungan kalau kita memang ingin mempunyai sistem pemerintahan otoriter yang memerlukan massa mengambang untuk memenangkan suara dalam pemilihan umum.

Perlunya kita dalam kehidupan sehari-hari bukan saja melek-huruf melainkan juga melek-angka dapat diambil teladannya dari peristiwa pertandingan adu kuat menenggak minuman penguat yang sering diiklankan di televisi menghasilkan tenaga yang ‘ruarr biasa’!  Pernah terjadi beberapa orang dewasa bertanding adu kuat minum berbotol-botol minuman penyegar itu, padahal di label botol tercantum bahwa setiap isi botol mengandung 50 mg caffeine! Minum tiga botol berarti menenggak 150 mg caffeine dan minum lima botol setara dengan minum 250 mg caffeine.  Kalau mau dipakai bernalar berdasar kemampuan melek angka, hal itu harus disetarakan dengan berapa cangkir kopi pahit yang telah ditenggak dalam waktu seketika?

Sebagai khalifah Allah di bumi setiap manusia bukan hanya harus dapat menjaga kesetimbangan alami di lingkungan sekitarnya. Ia juga harus mampu mengetahui apa yang baik dan tidak baik bagi kesehatan dirinya, karena hanya orang yang sehat dapat melaksanakan tugas kekhalifahan dengan baik.  Pengajaran sains dan matematika sebagai ilmu untuk kehidupan dengan demikian harus dilakukan dengan tujuan agar yang mempelajarinya itu dapat memanfaatkan ilmunya agar lingkungannya terpelihara dan dirinya ada dalam keadaan bugar. Berapa banyak sarjana bukan berkeahlian biologi tahu apa gunanya kalori, protein, lemak, dan mineral untuk kesehatan tubuhnya?  Berapa banyak pula yang tahu apa peranan lahan basah seperti di Ancol dan Cengkareng untuk satwa burung liar. Apa pula peran lahan gambut? Apakah hanya untuk ditebangi kayu raminnya dan kemudian setelah gundul dipaksakan dijadikan sawah? Tidak banyak, karena sewaktu ia belajar biologi di SD, SLTP, dan SMU, biologi itu diajarkan sebagai ilmu tentang makhluk hidup yang sudah mati dan diawetkan di antara kertas koran serta larutan formalin.

 

Belajar Dari Sejarah dan Kesusasteraan Dunia

Kita juga dapat mencari teladan tentang sarjana-sarjana bukan berkeahlian ilmu sosial yang tidak paham akan hak ulayat dan hak milik. Akibatnya  apa yang pernah memicu perang Diponegoro karena Belanda ingin membangun jalan kereta api melalui tanah pekuburan nenek moyang pangeran itu berulang kembali dalam bentuk peristiwa seperti Kedung Ombo dan berbagai sengketa lahan di Riau, Sumatera Utara, dan Irian Jaya.

Kalau saja para teknokrat kita sebelum ini telah mendapatkan pelajaran Sejarah Dunia sebagai suatu keseluruhan, mereka tahu apa itu hak ulayat, mereka juga tahu mengapa orang Indian memusuhi pendatang kulit-putih yang membangun rel kereta api dari pantai barat dan pantai timur Amerika Serikat yang kemudian bertemu di bagian tengah.  Tanpa pandang perasaan dan kehormatan orang Indian, rel kereta api itu dilewatkan melalui wilayah pekuburan nenekmoyang mereka.  Jadi peristiwa perang Diponegoro hanyalah sejarah yang berulang di Jawa Tengah dan telah terjadi sebelumnya di kawasan Amerika Utara.

Apa yang telah terjadi menyangkut berbagai komoditas pertanian pun sesungguhnya dapat dianggap sebagai pengulangan sejarah sewaktu Gubernur Jenderal Van den Bosch menciptakan sistem pertanaman paksa atau ‘Cultuurstelsel’. Dahulu yang diutamakan ialah kopi dan teh, kemudian sampai beberapa waktu yang lalu ceritanya adalah tentang kelapa, sawit, dan cengkih. Bahkan berbicara tentang van den Bosch dari segi manajemen pun ada persamaannya dengan sekarang. Kompleks bekas Akademi Pertanian Ciawi-Bogor dahulu adalah emplasemen perkebunan Pondok Gedeh yang sekarang masih ada sisanya di Lido-Cigombong. Di belakang kompleks bekas asrama di Ciawi itu ada pekuburan keluarga administratur perkebunan itu yang didirikan pada zaman kejayaan van den Bosch.  Dari berbagai kuburan yang masih ada di situ ternyata batu nisannya kebanyakan bernama keluarga ‘van den Bosch’. Jadi untuk mengamankan cultuurstelselnya, van den Bosch agaknya juga telah mengerahkan sanak keluarganya ke Jawa dan membagi-bagikan kepada mereka lahan perkebunan.  Kalau saja di dalam pelajaran sejarah yang ditekankan bukanlah penghafalan tahun-tahun terjadinya sesuatu melainkan mengapa sesuatu itu terjadi, teknokrat kita telah dibekali juga fakta sejarah yang perlu dielakkan terjadinya, yaitu apa yang sekarang dikenal sebagai KKN, karena KKN itulah yang telah menghancurkan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan kemudian juga Cultuurstelsel van den Bosch itu juga yang telah menimbulkan kesengsaraan rakyat yang amat sangat. Boleh pula dipertanyakan berapa banyak lulusan SMU yang tahu dan pernah membaca buku asli atau terjemahan buku ‘De Atjehers’ dan ‘Sumatraantjes’ karangan Zentgraaff.  Apabila semua petugas kenegaraan sebelum ini pernah membaca buku itu mereka tidak akan membuat ‘blunder’ menggunakan taktik penaklukan yang dilakukan orang Belanda dalam perang Aceh.

Erat hubungannya dengan perlunya pandangan sejarah yang menyeluruh bagi lulusan pendidikan menengah yang akan menempuh pembentukan diri sebagai insan akademik atau insan negarawan, diperlukan juga upaya agar di sekolah menengah, para siswa diberi kewajiban membaca dari khazanah susastera dunia. Bahwasanya di Jerman lulusan Gymnasium atau Lyceum dari jurusan apa pun, apakah susastera ataukah sains alam boleh memasuki fakultas mana pun di universitas, disebabkan karena mereka telah mendapatkan latihan pembentukan diri sebagai calon insan akademik mengenai latihan bernalar. Bagi lulusan program ilmu sosial, kekurangan mereka akan latarbelakang matematika dan fisika diimbangi oleh kelebihan mereka dalam bernalar melalui pengkajian kritis sejarah dan susastera dunia.

 

Matematika dan Bahasa Asing Modern Modal Penguasaan Ilmu untuk Penghidupan

Ciri ilmu adalah kesemestaannya. Oleh karena itu untuk dapat menguasai ilmu aqliah yang mana saja sebagai ilmu untuk penghidupan diperlukan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa ilmu itu dan bahasa pengantar ilmu itu. Bahasa ilmu itu adalah matematika karena prinsip ilmu selain kesemestaan adalah juga sifat penyederhanaannya, sedangkan penyederhanaan adalah abstraksi permasalahan dan abstraksi permasalahan dicapai melalui pemodelan secara matematika. Bahasa pengantar ilmu itu ditentukan oleh bahasa penutur kebanyakan pengembang ilmu itu. Dahulu bahasa pengantar ilmu adalah bahasa Jerman terutama untuk kedokteran dan keteknikan. Seusai perang dunia kedua perlahan-lahan terjadi pergeseran ke bahasa Inggris. Dalam matematika sekarang bahasa pengantar ilmunya yang resmi ialah bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, dan Cina. Hal itu menggambarkan pemeran utama pengembang Matematika pada akhir abad keduapuluh.

Oleh karena itu kalau kita bersepakat bahwa universitas adalah tempat mendidik calon ilmuwan dan teknologiwan, maka semua mahasiswa di universitas harus menguasai matematika.  Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial tidak memerlukan matematika. Demikian pula semua mahasiswa perlu menguasai sekurang-kurangnya satu bahasa asing modern di samping bahasa Indonesia.  Bukan ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ karena bahasa Indonesia harus baik dan benar.  Kalau tidak baik dan tidak benar, maka bahasa itu tidak boleh disebut bahasa Indonesia.  Jadi juga penguasan berbahasa bukan saja wajib bagi mahasiswa ilmu sastra, melainkan juga bagi mahasiswa sains alam dan matematika.

 

Kemampuan Menjaring Informasi dari Sarana Multimedia

Selama ini informasi informal hanya dapat diperoleh melalui media baca seperti koran, majalah, dan buku. Informasi seperti ini biasanya datang terlambat, karena hanya mutakhir sampai saat informasi itu siap dalam bentuk naskah, sedangkan antara keadaan itu sampai siap tercetak sering diperlukan waktu cukup lama. Selain itu pada akhirnya informasi seperti itu menjadi sangat mahal.

Perkembangan teknologi modern akan mengakibatkan mungkinnya menjaring informasi multimedia melalui jaringan elektronik adimarga. Dalam waktu yang dekat ini semua upaya menjaring informasi ini dapat dilakukan tanpa menggunakan komputer yang canggih melalui jaringan kabel pita-lebar yang dihubungkan dengan pesawat televisi secara interaktif, serta terminal yang hanya berupa suatu kotak dilengkapi papan-tombol dan layar-pantau LCD datar. Di Amerika Serikat harga terminal multimedia seperti ini yang dihubungkan melalui jaringan telpon hanya sepertiga harga suatu komputer multimedia, karena program-program kemampuan-kemampuan mengolah data dan huruf yang ada di CPU komputer sudah dipindahkan tempatnya di komputer induk yang memberikan pelayanan multimedia itu.

Pelayanan jasa itu akan dilakukan oleh berbagai perusahaan yang tadinya mempunyai relung usaha sendiri tetapi akhirnya harus berjuang dan bersaing dalam relung usaha yang sama, yaitu pelayanan informasi dan hiburan melalui multimedia. Di Indonesia perusahaan-perusahaan itu agaknya ialah yang bergerak dalam usaha pos, telekomunikasi, dan televisi. Selain itu juga perusahaan listrik mungkin akan meramaikan pasaran karena jaringan telekomunikasi menggunakan pita lebar serat optik yang menghantarkan pulsa dengan frekuensi sangat tinggi dapat digabungkan dengan kabel penghantar listrik tegangan tinggi yang menghantarkan pulsa energi listrik pada frekuensi 50 atau 60 Hz, tanpa terganggu oleh interferensi. Belum lagi diperhitungkan perusahaan jasa multimedia asing yang akan meramaikan persaingan di Indonesia setelah hambatan-hambatan monopoli dihilangkan.

Akibatnya, akan terjadi apa yang telah berlaku di Amerika Serikat. Biaya menyambung ke internet tidak lagi menjadi fungsinya waktu tersambung, melainkan hanya merupakan fungsi dari frekuensi penyambungan, sehingga biaya berselancar di internet menjadi murah sekali, lebih murah daripada membeli koran atau majalah. Agaknya keadaan inilah yang menyebabkan RRC mengembangkan jaringan multimedia adimarga untuk daratan Cina dengan maksud mengadakan jalur informasi yang semurah-murahnya bagi penduduk jang banyaknya lebih dari satu miliar.

Penanaman modal untuk jaringan ini jauh lebih murah daripada mengadakan sekolah-sekolah baru bagi penduduk karena kalau hal itu harus diadakan juga anggaran belanja negara tidak akan memadai. Apabila jaringan ini sudah berjalan, maka kepada penduduk akan dimasyarakatkan cara-cara penggunaan saluran multimedia untuk mendapatkan keterangan dan pelajaran. Kalau berhasil maka inilah universitas terbuka yang benar-benar terbuka. Tidak ada ujian-ujian dan tidak ada ijazah negara atau ijazah persamaan yang disahkan oleh suatu KOPERTIS.

Perusahaan yang memerlukan tenaga kerja tinggal membuat iklan melalui internet pula yang menawarkan lowongan kerja bagi orang yang dapat memenuhi persyaratan pengetahuan tertentu.  Pelamar yang berminat dipersilakan mengisi borang-borang yang tersedia di ‘halaman-rumah’ perusahaan itu yang dapat dianggap sebagai ujian praseleksi.  Dari borang-borang yang telah diisi ini perusahaan akan memanggil mereka yang memenuhi syarat untuk diseleksi.  Seleksi akan berupa ujian lisan, tertulis, dan praktek yang langsung dilakukan oleh divisi SDM perusahaan tanpa menanyakan ijazah atau salinan rapor. Dengan cara ini perusahaan akan mendapatkan gambaran yang bersifat WYSIWIG (What you see is what you get) dari para pelamar pekerjaan itu. Tidak perlu lagi ada kantor urusan tenaga kerja dan sekolah-sekolah kejuruan. Yang perlu diadakan hanyalah sekolah dasar, sekolah persiapan ke perguruan tinggi, dan universitas. Pendidikan kejuruan profesional diadakan sendiri oleh perusahaan-perusahaan itu sebagai kegiatan latihan-kerja di dalam perusahaan.

Oleh karena itu siswa sekolah dasar harus dilengkapi dengan kemampuan memberikan pelatihan mendapatkan informasi secara pro-aktif melalui pemasyarakatan cara-cara penggunaan terminal multimedia apakah melalui televisi interaktif ataukan melalui terminal lain. Yang paling siap melakukan pelayanan mengenai hal ini sampai ke pelosok-pelosok pada saat ini adalah perusahaan yang pelayanannya sudah memasuki desa, sehingga warung-warung multimedia dapat menjangkau ke mana-mana.

Kalau sekarang kita dapat melihat adanya warung-warung Nintendo di desa-desa, pada saatnya nanti warung-warung ini akan menjadi warung multimedia. Ini tempat para remaja kita dapat mengasyikkan dirinya bermain sambil belajar sesuatu untuk menunjang penghidupannya. Yang menjadi masalah nanti adalah bagaimana caranya menghapus kegemaran manusia Indonesia untuk lebih menghargai kertas ijazah yang tidak WYSIWIG dan lebih menghargai kemampuan nyata seseorang.

 

Gambaran Mengenai Pendidikan Dasar

Dengan mengacu ke wajib belajar sembilan tahun, kita perlu meninjau kembali apakah tepat membuat program yang seragam selama sembilan tahun. Karena perkembangan masyarakat masih sangat tidak seragam, pendidikan dasar yang seragam mungkin hanya dapat dipertanggungjawabkan untuk sekolah dasar enam tahun. Usia masuk ke SD akan berkisar dari 5 sampai 8 tahun.  Di daerah yang masih terbelakang usia masuk yang lambat akan menyebabkan siswa menyelesaikan pelajaran di SD pada usia 14-16 tahun menjelang usia akil-baliq. Karena itu siswa seperti ini tidak akan tertarik memasuki SLTP Umum. Baginya akan lebih bermanfaat untuk mengikuti suatu pelatihan ketrampilan sehingga dengan mengikuti pelatihan itu ia masih tetap dapat bermukim di tempat asalnya dan mencari sumber penghidupan di tempat itu tanpa harus berurbanisasi ke pusat-pusat perkotaan.

Selama ini begitu seseorang sudah lulus dari SD, SLTP atau SMU, maka ia tidak lagi punya kemampuan mencari penghidupan di tempat asalnya sendiri. Maka bermigrasilah ia ke emper-emper pusat pertokoan di kota besar untuk menyambung penghidupannya sebagai pedagang kakilima yang sesungguhnya harus diubah namanya menjadi kakilimabelas karena ia akhirnya berjualan di tengah jalan. Karena itu silabus SD selain mempersiapkan siswa agar memiliki pengetahuan dasar untuk kehidupan, harus dapat mendeteksi siapa saja yang perlu dipersiapkan mendapatkan pendidikan ketrampilan yang berguna untuk mengembangkan industri kecil di pedesaan seperti yang misalnya dapat kita lihat sudah berkembang di pedesaan  sekitar Tasikmalaya dan Garut.

Kalau begitu bagaimana bentuk pendidikan yang seharusnya diselenggarakan untuk sekolah dasar enam tahun?  Jawabnya saya tidak tahu, karena kendalanya sangat berat. Syarat pertama ialah bahwa nisbah siswa lawan guru tidak boleh lebih dari 20 banding 1. Di empat tahun yang pertama gurunya ialah guru kelas yang memberikan pelajaran ketrampilan membaca buku, bercakap, menulis, dan berbahasa dengan baik serta berhitung, pengetahuan tentang alam sekitar, serta menerapkan pelajaran-pelajaran itu untuk melancarkan kemampuan bernalar dan membangkitkan rasa ingin tahu. Pelajaran tidak diberikan dalam suasana kelas dengan bangku-bangku yang berjajar, melainkan terutama melalui pekerjaan kelompok. Selain pelajaran-pelajaran ini juga diberikan kegiatan-kegiatan hastakarya yang bentuknya disesuaikan dengan keadaan lingkungan setempat. Di kelas lima dan enam mata pelajaran ditambah dengan sejarah nusantara dan geografi dunia.

Setelah sekolah dasar, terdapat dua pilihan bagi lulusannya. Meneruskan sekolah secara formal di SLTP atau mengikuti pendidikan ketrampilan yang bentuknya dapat dipilih sendiri pada Lembaga Pendidikan Ketrampilan berbasis jaringan multimedia bekerjasama dengan kalangan industri manufaktur. Mereka yang mengikuti jalur SLTP setelah lulus dapat mengikuti pendidikan di SMU atau mengikuti kursus ketrampilan dari jaringan multimedia. Yang memilih jalur SMU pada dua tahun pertama dipilah menjadi dua golongan. Yang tampaknya berpotensi mengikuti jalur akademik diberi kesempatan mengikuti kelas tiga sedangkan selainnya menyelesaikan pelajaran setelah kelas dua.  Mereka berhak meneruskan pelajaran di Program Diploma yang diselenggarakan oleh ‘sekolah tinggi’ sedangkan yang melewati kelas tiga adalah calon mahasiswa di universitas.

 

Tinjauan Akhir

Apa yang dimimpikan di atas dengan perkataan lain adalah pelaksanaan kurikulum yang bervariasi sesuai dengan keadaan masukan dan lingkungan sambil menjaga agar tetap ada jalur program yang mempersiapkan pendidikan akademik yang terbaik. Patut di ingat bahwa yang terpenting bukanlah pendidikan akademik melainkan pendidikan ketrampilan, karena sesungguhnya mereka yang sesuai untuk jalur ini jauh lebih banyak daripada yang mampu mengikuti jalur akademik.  Menurut pengalaman di berbagai negara hanya paling banyak 25% dari setiap angkatan yang dapat dipertanggungjawabkan mengikuti jalur akademik. Selebihnya adalah bahan untuk menjadi profesional yang dilatih bekerja sama dengan industri pada taraf tukang dan kejuruan. Selain itu tenaga profesional madya dihasilkan oleh program diploma yang menerima mahasiswanya dari lulusan SMU biasa (O-level). Calon mahasiswa untuk jalur akademik di universitas diambil dari SMU lanjutan (A-level).

Apa isi kurikulum untuk masing-masing peringkat pendidikan itu tidak mungkin dikemukan sebagai pendapat perseorangan. Hal itu harus dipikirkan dengan penuh pertimbangan oleh suatu sidang ditinjau dari berbagai segi. Yang dapat dikemukakan di makalah ini hanyalah rambu-rambu yang harus diperhatikan. Akhirnya rambu lain yang terpenting ialah untuk tidak memulai perubahan sistem dan kurikulum, sebelum para gurunya dipersiapkan dengan seksama. Karena itu kalau kita akan merevisi kembali sistem pendidikan di Indonesia, kita buatlah rancangannya terlebih dahulu.  Akan tetapi penerapannya ditangguhkan sampai guru-guru yang akan melaksanakannya dan sarana pendidikannya telah dipersiapkan dengan baik. Dengan perkataan lain yang harus kita lakukan lebih dahulu adalah membuat para guru paham apa yang harus diajarkannya dan bagaimana mengajarkannya melalui pelatihan jarak-jauh berbasis jaringan multimedia dan seperangkat instruktur lokal. Ini saja termasuk mempersiapkan jaringan dan penyediaan bahannya akan memerlukan waktu sekurang-kurangnya dua tahun. Satu tahun mempersiapkan dan satu tahun lagi untuk melaksanakannya.

 

4 Januari 2000


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *